Senin, 07 Desember 2009

Hanya Sepenggal Janji

Pagi itu, aku terhenyak mendengar berita di televisi. Seorang penata rambut di Bandung telah tega membunuh seorang wanita pelangannya. Alasannya sebenarnya sepele, hanya karena si wanita berjanji ingin menggunakan jasanya dibidang tata rambut, namun janjinya itu tak kunjung ditepati. Blarr! Malang nian nasibmu, wahai sobat. Sebegitu tingginyakah harga sepenggal janji, hingga maut pun menjadi taruhannya?
Hatiku bergidik ngeri. Sepenggal janji. Hal yang kelihatannya sepele, namun sesungguhnya tidaklah sepele sama sekali. Janji adalah hutang, yang harus dilunasi, sesuai jangka waktu yang telah ditentukan. Mau tak mau pikiranku bekerja keras. Apakah selama ini ada janji yang secara tidak sadar kuucapkan, namun belum jua kutunaikan. Ah. Jangan-jangan diri ini tak sadar telah mengumbar janji dengan begitu ringan, begitu mudah, namun tak jua terlaksana hingga detik ini.
Tiba-tiba aku menjadi amat takut karenanya. Takut kalau-kalau tidak sempat melaksanakan janji hingga ajal menjemput. Na`udzubillah!
Akupun teringat peristiwa 2 tahun yang lalu, sewaktu tinggal di negeri seberang lautan sana, Australia. Seperti biasa, pagi itu, aku bersama teman-teman yang ‘seperjuangan’ sedang berlari pagi mengelilingi jalan depan resident house. Setelah lelah berlari pagi kami beristirahat sejenak di taman komplek dekat rumah. Di taman itu banyak anak-anak bule sedang bermain. Anak-anak kecil senang bermain di taman, karena tempatnya luas, banyak pohon, dan banyak permainan. Taman itu juga bagus sebagai tempat bersosialisasi anak-anak balita yang belum bersekolah karena di sini anak dilatih untuk antri menunggu giliran, ataupun meminjamkan mainan kepada temannya.
Hari masih amat pagi, pukul setengah sembilan. Terlalu dini sebenarnya untuk bermain di taman. Biasanya family di Australia membawa anak mereka sekitar pukul sepuluh pagi. Aku dan temanku menduga belum ada orang di taman ini selain kami. Tapi ternyata dugaanku salah. Ada seorang nenek-nenek bersama cucu laki-lakinya dan seorang ibu dengan anak lelakinya yang kutaksir berusia sekitar 4 tahun.
Karena mereka berada di dekat ayunan dan kami ingin duduk di bawah pohon oak, maka kami melewati mereka. Selesai bermain ayunan, kulihat anak ibu itu berhenti di depan cucu laki-laki nenek tersebut, sebut saja Nick. Kutaksir umurnya sekitar enam tahun. Anak ibu itu memandangi mainan mobil-mobilan di tangan Nick, dan ingin meminjamnya. Kami hanya diam saja, tidak pede karena bahasa inggris kami tidak terlalu fasih (tahukah kau kawan? Bahasa Inggris Australia itu lumayan sulit untuk dipahami). Tapi dalam hati ingin sekali meminjamkan mainan itu untuk anak itu. Ibu anak itupun diam saja, tampaknya sungkan untuk meminjam.
Untungnya si Nenek cepat tanggap.
“Nick, ayo pinjemin mainannya sama adik kecil ini!” pinta si Nenek, tentunya dalam bahasa Inggris.
Nick hanya diam.
“Nick, ayo pinjemin!” bujuk si Nenek masih sabar.
Bocah itu masih bergeming, makin erat mencengkeram mainan itu.
“Nick, you told me that you will lend the toys!” suara si Nenek mulai meninggi, tapi berusaha menekan suaranya.
Maksudnya tadi di rumah Nick telah berjanji kepada neneknya untuk meminjamkan mainan kepada anak-anak di taman. Dan si Nenek menagih janji Nick. Tapi Nick tetap menggeleng. Tampaknya antara Nenek dan cucu sama-sama kekeuh.
“Nick! Lend him the toy! L e n d i t !” Si Nenek masih bersikeras menagih janji Nick dengan menekankan kata `lend it`. Tampak mulai tidak sabaran, tapi berusaha untuk tidak marah.
Melihat adegan itu, sebenarnya dalam hati aku heran, mengapa si Nenek begitu kekeuh-nya menagih janji Nick. Bukankah dia masih anak-anak? Apakah perlu sekeras itu menagih janji kepada anak-anak? Walaupun disisi lain, aku juga salut dengan keteguhan hati si Nenek dalam mempertahankan prinsip. Janji adalah janji, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sekali terucap, pantang mengelak. Janji ibarat komitmen, yang telah disepakati bersama, dan harus dipegang teguh dan ditaati. Mengabaikan janji berarti mengabaikan komitmen. Aku salut bahwa di negeri yang mayoritasnya non muslim ini, ternyata prinsip-prinsip untuk tetap konsisten dalam menepati janji telah ditanamkan sedari usia dini.
Akhirnya setelah didesak sekian lama, dengan setengah terpaksa, Nick menyerahkan mobil-mobilan itu kepada anak ibu tersebut.
Ibu itu pun bernafas lega. Kulihat senyum di bibir anak itu.
Ah! Sepenggal janji. Hanya sepenggal janji. Tapi begitu besar efeknya.
"Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga : kalau berbicara dia bohong, kalau berjanji dia mengingkari dan kalau dipercaya dia berkhianat "(HR Bukhari dan Muslim).

Catatan kaki :
Resident house : Tempat menginap di sebuah rumah penduduk bagi mahasiswa internasional dalam program pertukaran kebudayaan. (Walaupun waktu itu kami bukan program pertukaran kebudayaan….:p)
Keukeuh : bersikeras

Tidak ada komentar:

Posting Komentar