Senin, 07 Desember 2009

Ketika Rindu Menjelma Dewi Padi

Tak terhitung Rabu dan lagu
Terik gigil cuaca kita lalu
Dalam garis-garis berawal mati kita memacu
Hingga Jum’at tiba kita ditunggu

Kau ayatku tentang sederhana
Menggema bersama dinaung menara
Kau diam dalam riuhku
Menembang lagu dalam rundukmu

oOOoOOoOOoOOo

Menurutmu dimana garis takdir menubrukkan kita? Di bawah atap Cahaya… Attttau… di payung menara? Hmm… dua-duanya benar. Cahaya dan menara adalah dua laut yang memberi kita ruang untuk sama-sama berenang. Tapi di luar itu, ada jembatan lain yang sebenarnya lebih dulu menghubungkan.

Kau ingat seragam wajib hitam putih yang kita ‘dipaksa’ kenakan? Kau dan aku juga ribuan anak domestik maupun impor yang lulus SPMB, disyaratkan melewati tahap ‘perkenalan’. Ada beberapa hari dan sesi yang kita beri merek keren OSPEK, dengan segala sebal senangnya, yang kemudian menjelma jembatan perhubungan. Ah, mungkin kau lupa, ketika itu kita dihimpun dalam kelompok yang sama!

Tak banyak yang kucatat dari jembatan pertemuan itu. Gambar hasil saringan scanner kepalaku sepertinya luput menjelaskannya secara detail. Tapi kesimpulanku kala itu, kau punya sisi jail!

Eits, Usah mendebat! Kau itu sebenarnya jayus, kan? Ummm.. dalam istilah lainnya, kau itu… ‘bocor’! (hahahah) setidaknya itu kenangan tentang jembatan perhubungan yang hingga kini masih terlipat di kotak hari lampau milikku. Dan, tentu saja, aku tidak mendakwamu secara asal. Ada sebab yang menjadikan label ‘bocor’ sebagai akibat. Tapi… ndak etis kalau aku mengumumkannya. Kau tanya kenapa? Karena itu akan menyeretku beserta dua teman kelompok kita ke dalam separuh cerita!

Hingga Jembatan pertemuan pun terlampaui. Hari-hari setelahnya adalah hadiah dari kaki waktu yang berderap dengan sepatu cahaya. Kau sibuk mengurus duniamu sendiri. Aku dan teman-teman kelompok kita pun senada. Meski hampir semua kita belajar di gedung yang sama, tapi jarang sekali bersua. Jika pun sekali dua bersitatap muka, paling hanya berhai-hai ria. Kita belum, atau tidak tahu, apa yang musti dicerita.

Seperti nasib-nasib perjumpaan kita dengan orang-orang yang mungkin pernah berpapasan di trotoar, ragam hal yang kemudian kita jejalkan ke otak kita mendorong keluar sebagian memori yang tidak begitu penting. Kita pun mengenal istilah lupa dan melupakan. Begitulah nasib ‘perkenalan’ kita dan teman-teman sekelompok melalui jembatan perhubungan bermerek keren. Kita lalu merasa asing satu sama lain. Jika pun bertemu sekali waktu, yang diproses ingatan sisa kita hanyalah, “Aduuuhhh… siapa, ya? Kayak pernah lihat, pernah dekat, cuma kapan? Dimana?”

Tidak tercatat acara dan minggu yang berhasil kita langkahi, dengan segala nasib baik dan buruknya. Kadang kita merasa sangat-sangat nyaman, tak jarang kita diserang bosan-bosanan. Aku begitu riuh dan cerewet. Heboh dan juga riang yang seringnya overdosis. Kalau menulis di buku curhat Cahaya acap susah berhenti. Dan tentu saja, norak dan banyak tidak mengertinya!

Sementara kau, hemat kata. Terus bekerja dalam diam. Kadang polos kayak bayi. Begitu sederhana dan tenang (setidaknya itu yang tercatat dalam ingatanku). Hampir tak pernah melihatmu marah. Lebih memiliki wibawa. TAPI kau paling malas mengisi buku curhat. Menyebalkan sekali! Ini dia yang menyebabkan aku sering mengatakan pada diriku, bahwa kita berada di dua kutub yang berjauhan.

Sampai Cahaya kemudian menjadi pintu untuk kita masuk ke Menara. Nah, seingatku di sinilah kita lebih banyak mengenal karakter. Kita jadi punya banyak waktu dan kesempatan untuk bercakap-cakap, memuntahkan isi benak, mendiskusikan apa saja. Meski kadang peran kita tertukar-tukar. Di Cahaya kita ributkan Menara, ee di Menara kita bincangkan Cahaya (Hahahah).

Rabu bersama tuntutan waktunya yang menderu, kita sering dibikin pusing oleh garis berawal mati. Sering duduk bersisian dengan wajah berlipat. Kalau benang kata-kata sedang mahal, kita suka gagap menjahit kalimat. Ada hal-hal yang kadang harus kita cerna dengan susah payah.

Tapi semuanya jadi seru selepas kita mampu menuntaskannya. Meski terkadang harus pulang malam. Hujan tumpah dari langit dan kita dipeluk resah yang sangat kentara. Labi-labi jadi kendaraan favorit. Dan, AHA! Kau ingat, kalau kita juga pernah naik becak di malam hari dan berbincang dengan tukang becak yang menggigil di guyur hujan? (kita jelas tak kuyup karena sudah dilindungi. Heheh). Meski saat awal transaksi aku ngotot nego sampai harga miring semiring-miringnya, ee pas sudah sampai rumah aku malah bayar lebih :p

Atau saat aku memaksamu menemaniku mencari baju darurat di Pante Pirak? Ya, selepas kita selesai dari pelatihan menulis bareng AJI. Ketika itu malam sudah sempurna turun. Aku merasa ganjil kalau harus pulang dengan seragam hitam putih.

Hmm… Aku suka sekali rangkaian hal itu. Asik. Karena, menurutku, hidup harusnya begitu. Tak perlu banyak teori. Dan kita terus mencoba (walau tersuruk-suruk) agar bisa mandiri. Bagaimana pun, berdiri, berjalan, lalu berlari dengan kaki sendiri selalu menghujani hidup kita arti. Kita pincang tapi butuh merasa normal.

Kurang lebih 2 tahun kita menjelajah di beberapa belantara yang sama. Oh ya, karena desakanmu juga aku punya kesempatan bertualang di pedalaman Meulaboh sana! Tepatnya di 3 desa di dekapan Kecamatan Panton Reuh. Hoho… Itu detik yang mengejutkan sekaligus sangat sangat menggairahkan! Saat kita coba memberi sesuatu, atas nama mahasiswa dan pengabdian yang diberi parfum bermerek bakti sosial.

Uuumm… Mengeja hidup dari bibir orang lain menyenangkan, ya? Melihat segalanya dari dekat. Sayang cuma 10 hari. Waktunya singkat sekali. Tapi waktu kala itu jauh lebih barakah. Karena setiap detiknya kita tidak rakus menggunakan diri dan pikiran hanya untuk kita pribadi.

Dan, di sana juga pertama kalinya aku melihat bagaimana caramu ngambek. Aku tidak tahu apa masalahnya, tapi kutemukan kau diam dalam arti yang sebenarnya. Ada butir air yang meluncur dari matamu. Sepertinya ketika itu kau dililit kesal yang puncak. Menjadi ‘Kak Ros’ sungguh tak mudah, ya??? Hahahhaahaah.

Ah, Teman, butuh begitu banyak lembar untukku bisa menerjemahkanmu. Tapi, kiranya aku dituntut meringkasmu dalam satu kata saja, akan kurangkum kau dalam kata: LAPANG. Ya, Lapang! Karena aku merasa lapang di depanmu. Aku tidak perlu takut atau menjadi orang lain.

Aku tidak perlu berumit-rumit mengatur bahasa dan kosakata. Aku tidak perlu sungkan untuk beropini terhadap apa pun. Aku bisa memuntahkan segala yang ada di benak dan ruang terdalam hatiku tanpa takut kau akan menganggapku aneh, nista atau bodoh. Ya, aku tidak pernah merasa bodoh dan tersudut saat bicara padamu. Karena kau akan menerimanya dengan lapang, meluruskan dengan lapang, atau menolak dengan lapang.

Tak bisa dipungkiri, di piring besar kehidupan ini ada satu makanan yang kita cicip dengan cara berbeda. Dan kau, kau tak menganggapku alien karenanya. Kau tak mempermasalahkan hingga perlu melabel atau meringkasku sebagai orang ‘dalam golongan’ atau ‘luar golongan’. Karena kau dengar dan menerima dengan lapang saat aku katakan, “aku adalah Anggi”.

Aku tentu tidak akan lupa bagaimana wajahmu yang jenaka coba meraba makna yang kusembunyikan dalam ceritaku. Suatu kali dalam labi-labi. Tak kuterka kau lihai sekali. Padahal kau cuma bilang, “Gi, coba lihat ke sini” owh, dan akhirnya TAARRAA, di mataku kau membaca tentang itu. Kita histeris dan kita tertawa bersama.

Dan yang terpenting dari segalanya, kau tak perlu mengeluarkan hadis, ayat, atau kalimat-kalimat menggugah dari motivator kelas dunia untuk menyeru, ‘Akhi… ta’ala nu’minu saa’ah’. Kau cukup menaklukkanku dengan sunyi dan caramu sendiri. Membuka mushaf lepas shalat kita di masjid. Bercerita tentang kebaikan dan buku-buku yang membuat ingin tahuku menggebu. Dan kau juga tidak merasa perlu marah ketika ‘jagoan’mu berkilat agak cela di bola mataku. Karena, tentu saja, aku juga tidak akan berdebat soal ‘jagoan’ku yang memberi cela di penilaianmu.

Hmm… aku bukan ahli yang pintar memberi defenisi. Tapi aku juga tidak harus menjadi ahli dulu untuk mengumumkan; diantara defenisi teman yang berhak muncul, salah satunya adalah kau!

Kau dan aku, lazimnya manusia yang mustahil luput dari cela. Tak selalu dalam kelana kita bisa melihat ke arah yang sama dengan isi pikiran yang seirama. Kadang kita bersinggungan. Tapi, sungguh, tak kulihat ada terowongan yang kau gali karenanya. Dan Karena bukan malaikat, kau tentu memiliki sisi buruk. Tapi, Teman, mengingatmu aku hanya ingin menyandera sisi baik.

Terimakasih banyak, Dewi Padi. Hari ini, rindu menjelma menjadi namamu. Belantara yang kita jelajah sekarang beda tempatnya. Laut yang kita renangi sekarang berlainan isinya. Tapi itu bukan pemicu kiamat untuk hakikat pertemanan, bukan? Apa kau tahu, Rabu kini tak sesemerbak dahulu. Hmm… semoga kau dipeluk-Nya selalu.

Kamar Kos, Desember 2009

Digelitik oleh ini:
”Kamu harus mengenalku dengan baik biar nggak salah kalau harus mencari-cari aku dalam kenanganmu besok!!” [ucapan Dewa pada Alexy dalam novel Alexandra, karya Farah Hidayati]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar